
Inilah Kenapa Atasan Tidak Dihormati Lagi Setelah Pensiun?
Oleh: Syarifudin Yunus, Asesor Kompetensi LSP Dana Pensiun
Jsatu - Ini adalah kenyataan pahit yang sering terjadi di dunia kerja. Saat seorang atasan (atau bos) saat punya jabatan dan berkuasa, memandang setiap keputusannya dianggap “titah”. Perintah yang tidak boleh dibantah. Bawahannya atau staf hanya bisa tunduk, mungkin diam karena takut kehilangan pekerjaan, bukan karena menghormati atasannya.
Di kantor, mungkin di tempat kerja Anda, tidak sedikit yang merasa jadi atasan mengira wibawa itu lahir dari jabatan. Lalu membenarkan tindakan arogan dan subjektif. Para atasan sering lupa, padahal rasa hormat lahir dari cara memperlakukan orang lain, dari adab terhadap bawahannya. Dan ketika jabatan si atasan itu pergi, barulah terlihat siapa yang benar-benar dihargai. Bukan karena prestasinya, tapi perilaku si atasan saat masih berkuasa.
Survei saya membuktikan. Banyak bawahan atau staf tidak lupa bagaimana atasannya mempermalukannya di depan umum. Atasan yang bertindak semena-mena, arogan dan merasa paling benar sendiri. Bawahannya sangat ingat nada suara si atasan yang merendahkannya. Bahakan caranya membuat bawahannya merasa kecil. Orangyang tidak bersalah tapi kesannya “dihukum” oleh atasannya. Semua itu ternyata disimpan bawahannya, bukan dengan benci. Tapi dengan pelajaran “jangan jadi seperti itu” (jangan bertindak seperti si atasannya).
Kini jabatan si atasan sudah berakhir tapi perilakunya dulu tetap membekas di pikiran bawahannya. Bukan prestasinya yang diingat tapi caranya memperlakukan orang lain saat masih punya kuasa. Atasan atau pemimpin harus tahu, jabatan itu sementara dan tidak dibutuhkan jabatan untuk dihormati. Atasan justru dihargai karena sikapnya yang elegan, dikenang karena ketulusannya untuk berjuang menyejahterakan bawahannya.
Atasan di banyak kantor sering lupa. Gaji bawahannya tidak seberapa tapi kerjaannya tidak kira-kira. Harus berangkat gelap pulang gelap. Politik kantor harus membuat para staf hanya diam. Bawahan harus manut ke atasan. Tapi suaranya jarang didengar, kalaupun bicara bisa dianggap tidak loyal. Bawahan merasa eksploitasi bukan cuma urusan jam kerja yang panjang. Tapi batas-batas kemanusiaan pun diabaikan. Terkadang, bawahan bekerja keras bahkan melampaui kemampuannya. Tapi upah atau gaji tidak ikut tumbuh seiring beban yang dikerjakannya.
Atasan harusnya bukan hanya memerintah apalagi menyuruh bawahan. Tapi harus berani memperjuangkan kesejahteraan stafnya. Para bawahan itu tidak punya dana pensiun, tidak punya tabungan pensiun seharusnya atasan berani memfasilitasinya, menyampaikan pentingnya dana pensiun untuk bawahannya. Karena atasan dan bawahan kan bisa cocok bisa tidak cocok. Setidaknya bila bawahan “harus” di-PHK karena tidak cocok dengan atasan, ya sudah tersedia dana pensiun yang menjadi hak-nya untuk memperoleh uang pesangon – uang pensiun. Entahlah, seberapa berpihak kepada bawahannya sendiri untuk urusan pensiun?
Masih ada kok atasan yang naikkan gaji bawahan sewajarnya saja tidak mau apalagi memberikan dana pensiun. Di situlah dibutuhkan kepemimpinan empatik, atasan yang menganggap jabatan itu justru amanah. Untuk selalu memperlakukan orang lain dengan baik dan berani menyejahterakan stafnya, itulah yang akan selalu diingat, bahkan setelah si atasan pensiun.
0 Comments: